SENI REYOG PONOROGO part 4


       Reyog Ponorogo, menari dalam pentas konteks budaya lokal, nasional, dan internasional.  Reyog Ponorogo merupakan wujud kebudayaan dalam bentuk sebuah sajian kesenian daerah. Sebagai kesenian daerah, seni Reyog Ponorogo seakan mendarah daging bagi setiap warga pemilik kesenian tersebut dan dimana kesenian tersebut ditumbuh kembangkan. Reyog Ponorogo bukan lagi sekedar sebuah kesenian lokal daerah, namun telah berkembang menjadi seni nasional melalui sebuah perhelatan Festival Reyog Nasional atau FRN setiap bulan Suro (bulan Muharam) setiap tahunnya. Eksistensi seni Reyog Ponorogo tidak lantas merasa puas menari dikancah nasional namun telah merambah pula ranah internasional melalui event-event kerjasama antar negara.
        Ketenaran dan nama besar seni Reyog Ponorogo tidak serta merta datang begitu saja, melainkan diperoleh dengan jerih payah para pelaku seni dengan dukungan masyarakat. Jerih payah yang dimulai dari asal muasal seni Reyog Ponorogo sampai dengan perkembangannya. Terkait dengan asal-usul seni Reyog Ponorogo sendiri terdapat banyak versi menurut berbagai sumber, namun setidaknya ada dua versi yang terkenal diantara versi-versi yang bermunculan tentang asal-usul seni Reyog Ponorogo, versi tersebut adalah versi Ki ageng Kutu Suryangalam dan versi Kerajaan
Bantarangin.
        Seni Reyog Ponorogo versi Ki Ageng Kutu Suryangalam. Menurut versi pertama ini, secara singkat diuraikan bahwa kemunculan seni Reyog Ponorogo merupakan wujud sebuah satire atau sindiran kepada Raja Bhree Krtabhumi oleh Ki ageng Kutu Suryangalam. Raja Bhree Krtabhumi  pada saat itu terlalu dipengaruhi oleh istrinya, bahkan nasehat Ki Ageng Kutu Suryangalam pun tidak digubris. Keadaan tersebut menyebabkan kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Bhree Krtabhumi carut marut, karena Sang Raja hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri. Ki Ageng Kutu Suryangalam mengambil sebuah janji, bahwa “tidak akan menghadap raja bila Sang Raja belum merubah tingkah laku buruknya yang selalu menuruti kehendak istrinya”. Ki Ageng Kutu Suryangalam sadar betul akan perbuatannya yang menentang raja tersebut. Oleh karena itu Ki Ageng Kutu Suryangalam bersiap diri dengan melatih para prajuritnya yang kemudian dikenal dengan warok. Ki Ageng Kutu Suryangalam membuat sebuah kesenian berupa tari-tarian yang digunakan untuk memata-matai bagaimanakah sikap raja Bhree Krtabhumi terhadap ultimatum Ki Ageng Kutu Suryangalam tersebut. Kesenian tersebut yang paling menonjol adalah perwujudan topeng berkepala harimau dengan burung merak hinggap di atas kepala harimau tersebut. Topeng tersebut merupakan perlambangan sikap seorang raja yang diatur oleh permasurinya. Bahkan, entah teruji kebenaraanya atau belum, sebuah hutan yang dihuni oleh burung merak pasti di dalamnya dihuni pula oleh harimau. 
      Seni Reyog Ponorogo sampai pada masa Raden Batara Katong Bupati pertama Ponorogo dengan penasehatnya bernama Ki Ageng Mirah. Pada versi kedua ini, kesenian Reyog Ponorogo tetap dipertahankan dengan berbagai penyelarasan. Contoh penyelarasn Kesenian Reyog Ponorogo sendiri adalah berubah fungsi sebagai media dakwah agama Islam, sehingga pada paruh burung merak ditambahkan dengan sebuah untaian tasbih. Penyelarasan dilakukan oleh Ki Ageng Mirah dengan menciptakan sebuah cerita rekaan tentang Kerajaan Bantarangin dengan Prabu Klana Sewandana sebagai raja kerajaan tersebut. Prabu Klana Sewandana mempunyai seorang Patih yang sekaligus adiknya sendiri yaitu Patih Pujangga Anom. Tokoh Patih Pujangga Anom inilah sebenarnya perlambangan tokoh Ki Ageng Kutu Suryangalam. Singkat cerita semenjak masa Raden Batara Katong tersebut seni Reyog Ponorogo terdiri dari penari Barongan (penari topeng kepala Harimau dan merak), penari warok, penari tokoh Prabu Klana Sewandana, penari tokoh Patih Pujangga Anom, dan ditambahkan pula penari prajurit berkuda putih yang dikenal dengan Jathil.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © INDOMAMPIR2