SENI REYOG PONOROGO part 1

       Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah provinsi Jawa Timur. Kabupaten tersebut sangat kontroversial dengan keseniannya yang melegenda yaitu seni Reyog Ponorogo. Seni Reyog Ponorogo sepintas tak ubahnya dengan seni Jathilan di berbagai daerah. Namun, Seni Reyog Ponorogo tampak menjadi seni yang unik dan berbeda dengan kesenian lain yang serupa. Mari kita simak lebih jauh.

     Pada bagian pertama ini akan dibahas bentuk penyajian seni Reyog Ponorogo. Berdasarkan bentuk penyajian atau pementasannya Reyog Ponorogo dapat dikelompokan menjadi dua bentuk pementasan yaitu 1. bentuk pementasan Reyog Obyog dan 2 bentuk pementasan Reyog Festival.

  1. Reyog Obyog
       Reyog Obyog berupa Reyog Ponorogo yang sederhana dan fleksibel. Prinsip sederhana Reyog Obyog (RO) dikarenakan bentuk pementasan RO yang minimalis. RO pada umumnya dipentaskan di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi: di halaman rumah, di jalan-jalan, di tanah lapang, atau dipentaskan secara arak-arakan/ iring-iringan, RO tidak dipentaskan di atas panggung sehingga tidak ada batas yang jelas antara pelaku seni dan penonton (Aji, 2013: 37).
       RO dipentaskan berdasarkan permintaan masyarakat atau penanggap (pemangku hajat) oleh karena hal tersebut RO disebut juga sebagai Reyog Tanggapan. Poerwadarminta (1939: 449) menerangkan kata “obyog” memiliki arti tayuban ‘mengerjakan sesuatu secara bersama-sama’. RO pada umumnya ditanggap oleh kepala desa, organisasi karang taruna, kelompok-kelompok masyarakat tertentu maupun secara individu untuk memberikan hiburan pada suatu hajatan.
        Prinsip fleksibilitas meliputi unsur drama, tari, musik, dan unsur bahasa. Dilihat dari segi unsur drama RO tidak mengutamakan keruntutan jalan cerita atau pementasan setiap adegan tari serta tidak memperhatikan kelengkapan tokoh cerita. Pada unsur tari, pementasan RO umumnya hanya diikuti oleh tokoh Jathil dan Pembarong. Pementasan tokoh Warok dan Bujanganong kadang kala dimunculkan, sedangkan tokoh Klana Sewandana sangat jarang dipentaskan. Masyarakat sebagai penonton dapat juga ikut berpartisipasi berjoget, sedangkan gerakan tari yang dipentaskan lebih banyak berupa gerakan improvisasi bebas sesuai dengan musik yang sedang dimainkan. Adanya campur tangan penonton sebagai pelaku seni tersebut menyebabkan RO sering dikaitkan minuman keras dan pamer kekuatan antar Pembarong, sedangkan penari Jathil cenderung mengarah ke unsur erotis. Berkaitan dengan hal tersebut penonton RO didominasi oleh lelaki. Durasi pementasan RO pada umumnya tergantung kepada masih ada tidaknya penonton yang menyaksikan. Fleksibilitas RO, juga dapat diamati melalui unsur musik cenderung lebih bebas susunannya. Musik RO banyak berupa improvisasi sesuai dengan kemampuan pemain musik.
       Perlu digaris bawahi bahwa tidak setiap pementasan Reyog Obgyog terkait dengan minum-minuman keras dan goyangan yang mengarah ke unsur erotis. Hal tersebut tergantung dari sudut pandang mana para penikmat seni menyikapinya. Keberadaan minuman keras tersebut bukan merupakan suatu hal yang wajib, tidak benar bahwa ada pernyataan seorang pembarong harus mabuk terlebih dahulu untuk bisa mengangkat ataupun menarikan topeng Dhadhak merak. Dhadhak merak yang ukuran normal notabene memiliki berat sekitar 50-60 kg tersebut dapat dianggkat menggunakan gigi dengan kekuatan otot rahang, leher dan punggung dengan latihan-latihan khusus tanpa harus meminum-minuman keras yang memabukan.

berikut adalah salah satu contoh vidio reyog obyog silahkan lihat disini


daftar pustaka 

Aji, Tri. 2013. Register dalam Pementasan Reyog Ponorogo oleh grup Kridha Taruna.Skripsi. FBS UNY.
Poerwadarminta, W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters Uitgevers Maatschappij N. V.
Tim Pemkab Ponorogo. 1996. Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa. Ponorogo: Pemerintah Kabupaten Daerah tingkat II Ponorogo.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © INDOMAMPIR2